Keunikan madu lebah tanpa sengat


Lebah tanpa sengat memiliki banyak nama lokal, seperti klanceng, kelulut, gala-gala, kammu, dll. Masyarakat di berbagai tempat di Indonesia telah mengenal bahwa lebah berukuran mini tersebut menghasilkan madu yang bisa dikonsumsi. Madu lebah tanpa sengat memiliki beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan madu lebah bersengat (Apis spp.). Perbedaan tersebut misalnya pada kadar air, karakter rasa asam yang khas, dan aktivitas antimikrobia di dalamnya.

Lebah tanpa sengat menyimpan madu dalam kantong-kantong yang terbuat dari getah tanaman/resin, biasa disebut pot madu. Sumber getah bervariasi, dan akan menentukan karakteristik dari madu, terutama dalam hal aroma. Lebah yang jamak dikenal sebagai trigona ini merupakan kelompok lebah generalis, artinya mereka mengambil nektar sebagai bahan madu dari berbagai jenis tanaman berbunga. Ukuran tubuhnya yang kecil dapat menjangkau berbagai ukuran bunga. Kemampuan mengeksplorasi beranekaragam tanaman bunga ini membuat trigona menghasilkan rasa yang kompleks dan unik.

 Pot-pot madu: Tetragonula laeviceps dan Tetrigona binghami
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa madu klanceng juga memiliki kandungan antioksidan dan aktivitas antimikrobia yang relatif lebih tinggi dibandingkan madu yang dihasilkan jenis lebah lainnya. Karakter madu lebah tanpa sengat yang cenderung humid menyebabkan lebah mengembangkan kemampuan menghambat pertumbuhan mikroorganisme sebagai penyebab proses fermentasi.

Proses pemanenan madu trigona harus dilakukan secara hati-hati, tidak boleh tercampur dengan roti lebah (beebread). Roti lebah adalah sumber protein bagi lebah yang dihasilkan dari fermentaasi pollen (serbuk sari bunga). Bagi manusia, roti lebah sebenarnya termasuk superfood. Namun konsentrasi pollen pada madu trigona dapat memicu dan mempercepat fermentasi. Madu trigona yang telah dipanen dari sarangnya hendaknya diperlakukan secara khusus agar kualitasnya terjaga. Madu hendaknya dikemas dengan kemasan foodgrade dan higienis. Botol kaca adalah kemasan terbaik. Penyimpanan dalam jangka waktu lama sebaiknya dalam lemari pendingin.

Memburu Lebah Hutan


Pagi itu, menggunakan dua sampan kami menyusur sungai Batanghari Leko di Kab Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Pak Idris mengantar kami menuju lokasi di mana pohon sialang berada. Pohon sialang adalah sebutan bagi pohon yang dihuni oleh lebah hutan Apis dorsata. Ada beberapa jenis pohon yang biasa dihuni oleh lebah dorsata, seperti rengas, manggris, dan aro. Perjalanan menyusuri sungai kurang lebih satu jam, kemudian dilanjutkan jalan kaki menembus rimba. Tak lama kemudian satu pohon sialang pun kami jumpai.




Pohon sialang dimiliki satu orang atau satu keluarga. Pemilik pohon sialang adalah dia yang pertama kali menemukan pohon tersebut. Dalam satu pohon jumlah sarang bisa mencapai lebih dari 200 sarang. Produktivitas madu pada tiap sarang bervariasi. Sebuah sarang yang bagus bisa menghasilkan 20 kg madu, atau bahkan lebih. Kalau tak beruntung mungkin hanya 5 kg atau bahkan kurang. Karena nilai ekonomi yang cukup tinggi maka pohon sarang akan dijaga siang malam secara bergantian. Petugas jaga mengamankan sarang-sarang lebah dari pencuri. Bukan cuma manusia tapi juga beruang, monyet, dan elang.



Dahulu, sebelum madu dihargai, sarang-sarang dipanen pada malam hari setelah melalui ritual khusus. Seorang pemanjat mulai menaiki pasak-pasak yang sudah dipasang sebelumnya. Dia yang akan bertugas memanen sarang-sarang itu. Seorang dukun melakukan ritual dan terus berkomunikasi dengan sang pemanjat. Orang-orang membantu saat madu-madu diturunkan menggunakan tali. Madu yang diperoleh kemudian akan dibagi kepada masyarakat.




Pemanenan madu dilakukan pada siang hari, menggunakan pakaian 3 lapis. Pemanjat akan memasang paku atau pasak sebagai pijakan untuk naik. Sesuatu yang bisa membuat ngilu bagi orang awam hanya dengan melihat pijakan-pijakan kaki tersebut. Satu sarang bisa dipanen 3 kali dalam satu musim. Itu hanya bisa diperoleh jika pemotongan sarang hanya pada bagian kepala yang merupakan simpanan madu lebah. Masyarakat di sini memiliki kebiasaan menyisihkan sisiran madu selebar dua jari sebagai cadangan makanan bagi anakan lebah. Kebiasaan ini bertujuan untuk menjaga kelastarian koloni lebah sendiri.

Mengapa Meliponikultur?


Meliponikultur dapat diartikan sebagai upaya pemeliharaan lebah tanpa sengat atau lebah Meliponin. Lebah tanpa sengat merupakan lebah berukuran kecil, termasuk suku Apidae. Kelompok lebah ini dikenal dengan berbagai nama lokal seperti klanceng (Jawa), teuweul (Sunda), kelulut (Melayu), gala-gala (Minang), dll. Kelompok lebah ini hidup di kawasan tropis sampai subtropis. Di dunia ada sekitar 500 jenis lebah tak bersengat dari kelompok ini. Benua Amerika menyumbangkan sebanyak 300 jenis, Afrika sebanyak 50 jenis. Asia 60 jenis dan Australia 10 jenis (Breadbear, 2009). Menurut catatan Rasmusen (2008), Indonesia setidaknya memiliki 35 jenis lebah tanpa sengat. Jumlah tersebut terus diperbaharui dan saat ini dipercaya hampir mencapai 50 jenis.

Setiap kawasan memiliki jenis-jenis khas masing-masing. Banyak jenis kelulut telah berhasil dibudidayakan. Setiap jenis memiliki cara hidup yang berbeda-beda, sehingga teknik dan pengelolaan budidayanya juga berbeda-beda pula. Sebagai negara tropis dengan Sumber Daya Alam yang kaya, bisa dikatakan Indonesia adalah salah satu negara yang paling potensial dalam pengembangan meliponikultur.

Saat ini Indonesia masih mengalami defisit pasokan madu. Suplai madu utama dipenuhi dari pemanenan lebah hutan Apis dorsata, budidaya lebah impor Apis mellifera, dan setengah sisanya dipenuhi dari impor. Potensi budidaya lebah tanpa sengat atau kelulut masih belum dikelola dengan baik. Pengembangan budidaya lebah tanpa sengat atau meliponikultur memiliki kelebihan antara lain:
-Lebah yang digunakan adalah lebah native atau sesuai dengan sebaran alaminya, sehingga jauh lebih adaptif dibandingkan dengan jenis lebah impor. Lebah native juga tidak akan memberikan dampak negatif ekosistem.
-Madu yang dihasilkan merupakan madu yang memiliki keunggulan dari sisi kandungan nutrisi dan kandungan zat-zat bermanfaat seperti antioksidan.
-Meskipun kapasitas produksi madunya relatif jauh lebih kecil dari madu Apis, namun harganya jauh lebih mahal sehingga secara ekonomi menguntungkan.
-Lebah tanpa sengat lebih mudah dikelola karena tidak menyengat. Pemeliharaannya bisa dilakukan siapa saja.
-Lebah tanpa sengat memberikan manfaat ekologis berupa jasa penyerbukan bebungaan. Karena ukuran tubuhnya yang kecil maka lebah ini mampu masuk ke dalam bunga-bunga kecil dan membantu proses penyerbukan.


Pengembangan meliponikultur menjadi salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan maupun pedesaan. Produksi madu dapat menjadi alternatif pemasukan keluarga. Pemanfaatan madu untuk konsumsi keluarga juga sangat positif dalam menjaga kesehatan. Selain menjadi salah satu kegiatan yang memberi kontribusi ekonomi, budidaya kelulut merupakan aktivitas yang sangat tepat untuk pendidikan konservasi. Mendorong pelestarian hutan melalui kegiatan ekonomi. 

Referensi
Breadbear, N. 2009. Bees and their role in forest livelihood: A guide to the services provided by bees and the sustainable harvesting, processing and marketing of their products. Rome: FAO
Rasmussen, C. 2008. Catalog of the Indo-Malayan/Australasian stingless bees (Hymenoptera: Apidae: Meliponini). Zootaxa 1935 pp 1-80.

*Foto utama Dok A. Ronny.

Apis cerana, sepupu yang tersisihkan



Mayoritas dari kita pasti pernah mencicipi manisnya madu, cairan manis yang diproduksi oleh lebah. Madu hanya bisa dihasilkan oleh lebah. Tidak semua jenis lebah menghasilkan madu, hanya sebagian kecil. Dari sedikit jenis lebah yang menghasilkan madu, tidak semua jenis layak untuk dipanen oleh manusia. Faktanya, madu yang beredar di pasaran dan bisa kita nikmati sehari-hari berasal dari beberapa jenis lebah marga Apis, dan sebagian kecil dihasilkan lebah tak bersengat (meliponin).

Penyuplai kebutuhan madu nasional saat ini adalah lebah hutan (Apis dorsata), dan lebah madu eropa (Apis mellifera). Lebah hutan (A. dorsata) membangun sarang terbuka, menggantung pada dahan pohon-pohon tinggi atau terkadang di tebing. Jenis ini membutuhkan habitat berupa hutan yang masih baik. Lebah ini juga dikenal agresif, akan menyerang pengganggu dengan cara memberikan sengatan menyakitkan secara berkelompok. Pada beberapa kasus, dampak serangan dorsata bisa fatal. Karena perilaku hidup seperti itu, maka lupakan untuk membudidayakan jenis ini. Hanya para pemburu yang terlatih yang mampu memanen madunya dari alam. 

Mulai era 70an pemerintah mendatangkan lebah madu eropa (Apis mellifera) untuk dijadikan penyuplai madu. Lebah ini diklaim merupakan jenis penghasil madu yang unggul, dan layak dikembangkan dalam skala industri. Hingga saat ini lebah mellifera masih menjadi andalan untuk produksi madu nasional. 

Sebenarnya ada satu lagi jenis lebah yang menghasilkan madu dengan kualitas sangat baik, dan dapat dibudidaya, dialah Apis cerana. Lebah Apis cerana adalah sepupu dari lebah ternak impor, Apis mellifera. Keduanya memiliki banyak kemiripan, baik dari ciri-ciri tubuh, maupun perilaku hidupnya. Ukurannya mirip, warna mirip, dan sama-sama membangun sarang pada rongga. Yang sangat membedakan kedua jenis ini adalah distribusi alaminya. Lebah A. cerana menghuni kawasan Asia, paling barat lebah ini ditemukan di suatu tempat di Iran, paling timur di kawasan tengah Indonesia, paling utara di Cina, dan paling selatan masih di Indonesia. Karena sebaran alami lebah jenis ini di Asia, maka biasa disebut sebagai lebah madu asia (Asiatic/eastern honey bee). 

Pengembangan frame untuk lebah madu lokal Apis cerana.
 
Sedangkan sebaran alami A. mellifera adalah di Eropa dan Afrika, ke timur hanya sampai Asia barat. Lebah jenis ini biasa disebut sebagai lebah madu eropa (European/western honey bee). Uniknya kedua jenis lebah ini hanya terpisahkan oleh sabuk gurun berjarak ratusan kilometer di Iran. Campur tangan manusia menjadikan jenis-jenis lebah dapat dijumpai di luar sebaran alaminya. Jenis A. mellifera kini dapat dijumpai di semua benua kecuali Antartika. Jenis ini paling banyak dibudidaya dan merupakan penyuplai utama madu di dunia, karena produktivitasnya yang tinggi. 

Lebah madu asia (A. cerana) merupakan jenis lebah asli Indonesia, berdampingan dengan berbagai jenis Apis lainnya meliputi A. andreniformis, A. dorsata, A. koschevnikovi, dan A. nigrocincta. Dapat dikatakan negeri kita memiliki kekayaan jenis Apis terbanyak di dunia. Meskipun demikian, di kalangan peternak lebah Indonesia, lebah lokal kurang dikelola dengan baik karena produksi madunya yang kalah dengan jenis A. mellifera yang dijuluki lebah unggul. Sebagian besar peternakan lebah besar di Indonesia menggunakan jenis lebah introduksi sebagai penghasil madu maupun produk lebah lainnya seperti bee pollen, propolis, dan royal jelly.

 
Pemeliharaan lebah lokal secara sederhana di dalam gelodok kayu.

Jauh sebelum lebah eropa didatangkan, masyarakat Indonesia sudah sangat akrab dengan pemeliharaan lebah lokal secara tradisional. Saat ini, lebah lokal masih dipelihara dalam skala kecil oleh masyarakat di pedesaan terutama yang berdekatan dengan hutan. Berbeda dengan lebah unggul yang dipelihara dalam peti-peti yang didesain khusus untuk produksi, dan dengan sistem penggembalaan mengikuti ketersediaan sumber pakan; lebah lokal umumnya masih dipelihara dalam gelodok (batang kayu yang bagian dalamnya berongga) atau dalam peti sederhana, dan tidak digembala.

Lalu apakah lebah madu lokal tidak layak dikembangkan? Ini menjadi pertanyaan yang jawabannya sudah jelas. Tergantung cara berpikir kita, apakah orientasi kita hanya bisnis semata. Atau adakah semangat untuk mengedepankan penyelamatan jenis-jenis asli negeri ini?

Sekilas potensi lebah


Tingkat konsumsi madu orang Indonesia masih sangat rendah. Fakta ini harus kita akui bersama. Untuk sebuah negara megabiodiversity di kawasan tropis dengan kekayaan jenis lebah yang tinggi, ini menjadi ironi tersendiri. Di negara-negara maju, konsumsi madu per orang per tahun lebih dari 1 kg. Sedangkan orang Indonesia tak lebih dari 3 sendok (sekitar 30 gram). Dengan konsumsi sebesar itu, kita membutuhkan 7.500 ton madu per tahun (Novandra & Widnyana, 2013).

Madu yang kita minum sehari-hari disuplai dari pemanenan alam maupun dari peternakan lebah. Negeri kita dikaruniai satu jenis lebah istimewa bernama Apis dorsata (lebah hutan). Lebah jenis ini hidup di habitat hutan yang relatif masih baik, membangun sarang terutama pada dahan-dahan pohon. Lebah jenis ini masih menjadi salah satu pemasok kebutuhan madu nasional. Selebihnya, madu dan produk lebah lainnya disuplai dari peternakan lebah dalam negeri, maupun impor.
Pekerja lebah hutan Apis dorsata 

Peternakan lebah umumnya merawat Apis mellifera sebagai lebah penghasil madu maupun produk lebah lainnya. Jenis lebah ini merupakan lebah impor yang dipilih para peternak karena kapasitas produksi madunya yang relatif besar. Jenis lebah lokal asli Indonesia, Apis cerana, cukup banyak dipelihara oleh para peternak tradisional di pedesaan. Produksi madu dari jenis ini tidak terlalu berlimpah namun banyak diburu karena kualitasnya dianggap lebih bagus dibandingkan madu dari lebah impor.

Barangkali tak banyak dari kita yang mengetahui bahwa selain lebah-lebah dari marga Apis, kita memiliki kelompok lebah lain yang potensial untuk menghasilkan produk-produk lebah (madu, pollen, propolis). Lebah-lebah tersebut lebih mudah dipelihara dan menghasilkan madu yang sangat baik. Mereka bahkan tidak bersengat. Di Indonesia, lebah tak bersengat dikenal dengan berbagai nama lokal. Sebutan-sebutan lokal tersebut antara lain kelulut (Melayu), klanceng (Jawa), teuweul (Sunda), gala-gala (Sumatra Barat), dll.

Lebah tak bersengat Heterotrigona itama

Kelompok lebah tak bersengat (Meliponini) menghuni kawasan tropis. Sebagian kecil mampu bertahan di subtropis. Di dunia, lebih dari 500 jenis lebah tak bersengat telah diketahui. Jenis lebah tak bersengat di Indonesia berdasarkan catalog Indomalayan Stingless Bee Rasmussen adalah 35 jenis. Jumlah itu diyakini akan terus bertambah seiring catatan-catatan baru. Beberapa jenis lebah tak bersengat telah dipelihara untuk diambil produk lebahnya. Meskipun masih berskala kecil, namun kegiatan ini menjadi lompatan besar dalam perlebahan di Indonesia.

Pot madu lebah tak bersengat jenis Tetragonula laevieps

Madu yang dihasilkan oleh lebah tak bersengat memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Lebah tak bersengat menyimpan madu dalam kantong-kantong yang terbuat dari getah tanaman, biasa disebut pot madu. Sumber getah bervariasi, dan akan menentukan karakteristik dari madu, terutama dalam hal aroma. Kelompok lebah berukuran mini ini merupakan kelompok generalis, artinya mereka mengambil nektar sebagai bahan madu dari berbagai jenis tanaman berbunga sebagai kekayaan tropis, sehingga menghasilkan rasa yang kompleks dan unik. Rasa asam yang khas umumnya dijumpai pada madu lebah tak bersengat. Bisa dibilang merupakan representasi keanekaragaman kawasan tropis, cita rasa hutan Indonesia.