Tradisi Lebah


Masyarakat Indonesia relatif dekat dengan lebah. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan masyarakat kita yang cukup baik terhadap beranekaragam jenis lebah yang kita miliki. Masyarakat kita juga terbiasa memanfaatkan produk-produk lebah baik yang umum seperti madu, maupun pemanfaatan produk yang khusus seperti lilin dan propolis. Pemanenan madu lebah hutan (Apis dorsata) telah dilakukan secara turun-temurun di sebagian besar wilayah sebaran jenis lebah tersebut. Pada banyak kasus, proses pemanenan tersebut menjadi bagian dari budaya masyarakat yang melibatkan tradisi dan ritual tertentu. Beberapa pemburu madu mencari madu hutan sebagai komoditas yang cukup besar kontribusinya secara ekonomi bagi mereka.

Pemeliharaan lebah madu Apis cerana juga cukup mudah ditemui di pedesaan, terutama di sekitar kawasan hutan. Umumnya pemeliharaan lebah jenis ini masih menggunakan sistem pemeliharaan tradisional. Masyarakat pedesaan menggunakan kayu yang dibelah dan dipahat bagian dalamnya sampai membentuk rongga. Di Jawa, masyarakat menyebutnya gelodokan. Di dalam gelodokan berongga inilah lebah membangun sarang. Lebah biasanya diperoleh dengan cara memasang gelodokan kosong (perangkap). Pemanfaatan produk lebah umumnya bersifat subsisten. Pupa lebah Apis cerana terkadang dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang kaya akan protein.


Memasyarakatkan meliponikultur

Untuk lebah tanpa sengat (Meliponini) negeri kita perlu bersyukur karena beberapa memiliki lebih dari 40 jenis. Kelompok lebah yang familiar dengan nama trigona ini memiliki nama khas tiap masing-masing daerah, Antara lain kelulut (Melayu), klanceng (Jawa), teuweul (Sunda), galo-galo (Sumatera Barat), ketappe/kammu (Sulawesi), dll. Suku Mentawai di Pulau Siberut memiliki kedekatan dengan lebah Trigona. Mereka menyebut lebah ini katokkalik. Bagi masyarakat Mentawai, katokkalik biasa digunakan dalam ritual-ritual adat. Para Sikerei (ahli pengobatan) memanfaatkan madu dan beepollen sebagai salah satu bahan dalam praktek pengobatan tradisional.