Apis cerana, sepupu yang tersisihkan



Mayoritas dari kita pasti pernah mencicipi manisnya madu, cairan manis yang diproduksi oleh lebah. Madu hanya bisa dihasilkan oleh lebah. Tidak semua jenis lebah menghasilkan madu, hanya sebagian kecil. Dari sedikit jenis lebah yang menghasilkan madu, tidak semua jenis layak untuk dipanen oleh manusia. Faktanya, madu yang beredar di pasaran dan bisa kita nikmati sehari-hari berasal dari beberapa jenis lebah marga Apis, dan sebagian kecil dihasilkan lebah tak bersengat (meliponin).

Penyuplai kebutuhan madu nasional saat ini adalah lebah hutan (Apis dorsata), dan lebah madu eropa (Apis mellifera). Lebah hutan (A. dorsata) membangun sarang terbuka, menggantung pada dahan pohon-pohon tinggi atau terkadang di tebing. Jenis ini membutuhkan habitat berupa hutan yang masih baik. Lebah ini juga dikenal agresif, akan menyerang pengganggu dengan cara memberikan sengatan menyakitkan secara berkelompok. Pada beberapa kasus, dampak serangan dorsata bisa fatal. Karena perilaku hidup seperti itu, maka lupakan untuk membudidayakan jenis ini. Hanya para pemburu yang terlatih yang mampu memanen madunya dari alam. 

Mulai era 70an pemerintah mendatangkan lebah madu eropa (Apis mellifera) untuk dijadikan penyuplai madu. Lebah ini diklaim merupakan jenis penghasil madu yang unggul, dan layak dikembangkan dalam skala industri. Hingga saat ini lebah mellifera masih menjadi andalan untuk produksi madu nasional. 

Sebenarnya ada satu lagi jenis lebah yang menghasilkan madu dengan kualitas sangat baik, dan dapat dibudidaya, dialah Apis cerana. Lebah Apis cerana adalah sepupu dari lebah ternak impor, Apis mellifera. Keduanya memiliki banyak kemiripan, baik dari ciri-ciri tubuh, maupun perilaku hidupnya. Ukurannya mirip, warna mirip, dan sama-sama membangun sarang pada rongga. Yang sangat membedakan kedua jenis ini adalah distribusi alaminya. Lebah A. cerana menghuni kawasan Asia, paling barat lebah ini ditemukan di suatu tempat di Iran, paling timur di kawasan tengah Indonesia, paling utara di Cina, dan paling selatan masih di Indonesia. Karena sebaran alami lebah jenis ini di Asia, maka biasa disebut sebagai lebah madu asia (Asiatic/eastern honey bee). 

Pengembangan frame untuk lebah madu lokal Apis cerana.
 
Sedangkan sebaran alami A. mellifera adalah di Eropa dan Afrika, ke timur hanya sampai Asia barat. Lebah jenis ini biasa disebut sebagai lebah madu eropa (European/western honey bee). Uniknya kedua jenis lebah ini hanya terpisahkan oleh sabuk gurun berjarak ratusan kilometer di Iran. Campur tangan manusia menjadikan jenis-jenis lebah dapat dijumpai di luar sebaran alaminya. Jenis A. mellifera kini dapat dijumpai di semua benua kecuali Antartika. Jenis ini paling banyak dibudidaya dan merupakan penyuplai utama madu di dunia, karena produktivitasnya yang tinggi. 

Lebah madu asia (A. cerana) merupakan jenis lebah asli Indonesia, berdampingan dengan berbagai jenis Apis lainnya meliputi A. andreniformis, A. dorsata, A. koschevnikovi, dan A. nigrocincta. Dapat dikatakan negeri kita memiliki kekayaan jenis Apis terbanyak di dunia. Meskipun demikian, di kalangan peternak lebah Indonesia, lebah lokal kurang dikelola dengan baik karena produksi madunya yang kalah dengan jenis A. mellifera yang dijuluki lebah unggul. Sebagian besar peternakan lebah besar di Indonesia menggunakan jenis lebah introduksi sebagai penghasil madu maupun produk lebah lainnya seperti bee pollen, propolis, dan royal jelly.

 
Pemeliharaan lebah lokal secara sederhana di dalam gelodok kayu.

Jauh sebelum lebah eropa didatangkan, masyarakat Indonesia sudah sangat akrab dengan pemeliharaan lebah lokal secara tradisional. Saat ini, lebah lokal masih dipelihara dalam skala kecil oleh masyarakat di pedesaan terutama yang berdekatan dengan hutan. Berbeda dengan lebah unggul yang dipelihara dalam peti-peti yang didesain khusus untuk produksi, dan dengan sistem penggembalaan mengikuti ketersediaan sumber pakan; lebah lokal umumnya masih dipelihara dalam gelodok (batang kayu yang bagian dalamnya berongga) atau dalam peti sederhana, dan tidak digembala.

Lalu apakah lebah madu lokal tidak layak dikembangkan? Ini menjadi pertanyaan yang jawabannya sudah jelas. Tergantung cara berpikir kita, apakah orientasi kita hanya bisnis semata. Atau adakah semangat untuk mengedepankan penyelamatan jenis-jenis asli negeri ini?

Sekilas potensi lebah


Tingkat konsumsi madu orang Indonesia masih sangat rendah. Fakta ini harus kita akui bersama. Untuk sebuah negara megabiodiversity di kawasan tropis dengan kekayaan jenis lebah yang tinggi, ini menjadi ironi tersendiri. Di negara-negara maju, konsumsi madu per orang per tahun lebih dari 1 kg. Sedangkan orang Indonesia tak lebih dari 3 sendok (sekitar 30 gram). Dengan konsumsi sebesar itu, kita membutuhkan 7.500 ton madu per tahun (Novandra & Widnyana, 2013).

Madu yang kita minum sehari-hari disuplai dari pemanenan alam maupun dari peternakan lebah. Negeri kita dikaruniai satu jenis lebah istimewa bernama Apis dorsata (lebah hutan). Lebah jenis ini hidup di habitat hutan yang relatif masih baik, membangun sarang terutama pada dahan-dahan pohon. Lebah jenis ini masih menjadi salah satu pemasok kebutuhan madu nasional. Selebihnya, madu dan produk lebah lainnya disuplai dari peternakan lebah dalam negeri, maupun impor.
Pekerja lebah hutan Apis dorsata 

Peternakan lebah umumnya merawat Apis mellifera sebagai lebah penghasil madu maupun produk lebah lainnya. Jenis lebah ini merupakan lebah impor yang dipilih para peternak karena kapasitas produksi madunya yang relatif besar. Jenis lebah lokal asli Indonesia, Apis cerana, cukup banyak dipelihara oleh para peternak tradisional di pedesaan. Produksi madu dari jenis ini tidak terlalu berlimpah namun banyak diburu karena kualitasnya dianggap lebih bagus dibandingkan madu dari lebah impor.

Barangkali tak banyak dari kita yang mengetahui bahwa selain lebah-lebah dari marga Apis, kita memiliki kelompok lebah lain yang potensial untuk menghasilkan produk-produk lebah (madu, pollen, propolis). Lebah-lebah tersebut lebih mudah dipelihara dan menghasilkan madu yang sangat baik. Mereka bahkan tidak bersengat. Di Indonesia, lebah tak bersengat dikenal dengan berbagai nama lokal. Sebutan-sebutan lokal tersebut antara lain kelulut (Melayu), klanceng (Jawa), teuweul (Sunda), gala-gala (Sumatra Barat), dll.

Lebah tak bersengat Heterotrigona itama

Kelompok lebah tak bersengat (Meliponini) menghuni kawasan tropis. Sebagian kecil mampu bertahan di subtropis. Di dunia, lebih dari 500 jenis lebah tak bersengat telah diketahui. Jenis lebah tak bersengat di Indonesia berdasarkan catalog Indomalayan Stingless Bee Rasmussen adalah 35 jenis. Jumlah itu diyakini akan terus bertambah seiring catatan-catatan baru. Beberapa jenis lebah tak bersengat telah dipelihara untuk diambil produk lebahnya. Meskipun masih berskala kecil, namun kegiatan ini menjadi lompatan besar dalam perlebahan di Indonesia.

Pot madu lebah tak bersengat jenis Tetragonula laevieps

Madu yang dihasilkan oleh lebah tak bersengat memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Lebah tak bersengat menyimpan madu dalam kantong-kantong yang terbuat dari getah tanaman, biasa disebut pot madu. Sumber getah bervariasi, dan akan menentukan karakteristik dari madu, terutama dalam hal aroma. Kelompok lebah berukuran mini ini merupakan kelompok generalis, artinya mereka mengambil nektar sebagai bahan madu dari berbagai jenis tanaman berbunga sebagai kekayaan tropis, sehingga menghasilkan rasa yang kompleks dan unik. Rasa asam yang khas umumnya dijumpai pada madu lebah tak bersengat. Bisa dibilang merupakan representasi keanekaragaman kawasan tropis, cita rasa hutan Indonesia.